Greeting

Selamat datang di Blog Pribadi saya

Selasa, 21 September 2010

CERPEN: Tuhan Sudah Mati



WAKTU itu saya bekerja di salah satu BUMN di Jakarta sebagai staf ahli di bidang manajemen. Sudah banyak konsep-konsep manajemen saya yang diterapkan BUMN tersebut sehingga mengalami kemajuan yang cukup signifikan.

Di unit kerja itu juga ada staf ahli bidang hukum, bidang keuangan, bidang organisasi dan beberapa staf ahli lainnya. Suasana kerja sangat menyenangkan karena fasilitasnya memuaskan. Ruang full AC, telepon, komputer, perpustakaan dan lain-lain. Gajipun tergolong memuaskan.

Meskipun demikian, sebagai staf ahli manajemen saya selalu mencari kekurangan yang ada di BUMN tersebut supaya segera disempurnakan. Salah satunya adalah BUMN tersebut belum melakukan komputerisasi. Oleh karena itu saya membuat tiga buah proposal komputerisasi untuk saya ajukan untuk direktur utama.

Alhamdulillah, salah satu proposal disetujui. Proposal kemudian dirapatkan dan ditindak lanjuti. Anggaranpun segera dibuat. Sementara, komputerisasi untuk kantor pusat.Total anggarannya ada sekian puluh milyar rupiah.

Segera direalisasikan.Tentu, komputerisasi dilakukan oleh ahlinya. Pembelian komputer dilakukan oleh yang berwenang. Semua ditangani masing-masing pihak yang punya kompeten.

Selesai proyek, iseng-iseng saya melihat hasil laporan akhir keuangan proyek.Betapa terkejutnya saya.Berdasarkan perhitungan saya, ada selisih harga pembelian komputer sebesar Rp 350 juta.

“Kok,ada selisih Rp 350 juta?” tanya saya ke Mas Jatmiko yang memegang bagian keuangan. Tampak mukanya merah mendapat pertanyan seperti itu.
“Ssst, jangan bilang-bilang. Kalau nggak begini saya nggak bisa kaya,” jawabnya. Akhirnya saya memaklumi. Teman sekantor saya korupsi.

Lain kali saya dapat tugas meninjau kantor wilayah di Denpasar, Bali. Satu rombongan ada tiga orang. Tiap orang tentu mendapatkan SPJ (Surat Perintah Jalan) beserta alokasi dana untuk pesawat, akomodasi, transportasi dan lain-lain selma di Bali. Rombongan bertugas selama seminggu. Saya menginap di hotel, sedangkan dua teman saya menginap di rumah saudaranya.

Ketika mau pulang ke Jakarta, kedua teman saya mendekati kasir di hotel tempat saya menginap. Ternyata minta bukti pembayaran palsu. Kasirpun mendapat imbalan tertentu.

“Kok,begitu?” tanya saya.
“Biasa friends. Kalau tidak begini saya tidak bisa membelikan motor untuk anak saya,” jawabnya enteng. Saya akhirnya juga memaklumi, teman saya telah melakukan korupsi.

Pada kesempatan lain, saya iseng-iseng mengevaluasi pembukuan anggaran rapat pimpinan yang diadakan seminggu dua kali. Oh My God. Rapat hanya satu jam butuh biaya Rp 10 juta? Minta ampun. Kalau seminggu dua kali rapat, sebulan delapan kali rapat, berapa besarnya uang yang dikorupsi?

Bulan berikutnya unit kerja saya membutuhkan lima buah mesin fotokopi. Itupun di mark up. Lain kali ada penggantian mesin absensi karyawan dari sistem kartu menjadi sistem sidik jari. Dananya milyaran rupiah. Itu juga dikorupsi.Tidak hanya itu, beberapa bulan kemudian ada pembelian mobil dinas baru, itupun di mark up.

Dalam satu tahun teman-teman saya sudah punya rumah mewah di kawasan Bintaro Permai. Sedangkan saya cukup rumah BTN di Cinere Blok D  dekat kawasan PLN Gandul.

Terus terang, saya dididik dengan baik oleh kedua orang tua saya. Juga, sejak kecil saya juga sudah taat beribadah. Saya tahu mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Saya juga tahu apa resikonya kalau melanggar ajaran Al Qur’an. Ada rasa takut dan berdosa jika saya andaikan harus melakukan perbuatan tercela.Saya menyadari bahwa Tuhan Mahatahu dan tiap detik mengawasi pikiran dan perilaku saya.Bahkan malaikatpun mencatat semua perbuatan saya.

Tapi bagaimana cara berpikir teman-teman saya?
“Kamu nggak takut melakukan korupsi?” tanya saya suatu sat.
“Takut sama siapa? Kalau ada pemeriksan dari BPKP,BPK atau inspektorat, kasih saja mereka amplop. Habis perkara.Mereka juga cari uang,kok”
“Bagaimana terhadap Tuhan?”
“Kita hidup kan sekarang.Soal nanti ya nantilah.Soal akherat masih lama.Nggak uusah dipikirin.Anggap saja Tuhan tidak tahu,” jawabnya enteng sekali.
“Astaga!” saya terkejut mendengar jawaban seperti itu.
“Bagaimana dengan dosa-dosa?” tanya saya lagi.
“Dosa itu yang bagaimana bentuknya,rupanya? Lagipula saya rajin shalat,kok.Bukankah shalat bisa menghapus dosa? Habis puasa Ramadhanpun Tuhan akan mengampuni dosa kita selama satu tahun,” enteng sekali jawaban teman saya.

Akhirnya saya mulai mengerti. Rusaknya mental sebagian bangsa kita karena faktor pendidikan, baik dari orang tua,guru atau lingkungan.Agama dipahami hanya kulit-kulitnya saja. Baginya dosa,neraka dan Tuhan itu merupakan hal yang sangat abstrak.Mereka tidak tahu dosa itu apa,neraka itu apa bahkan Tuhan juga tak bisa dibayangkan seperti apa.

Cara berpikir mereka pendek sekali. Hanya memikirkan kehidupan duniawi.Ingin hidup serba kecukupan.Tidak mau cari uang dan harta dengan cara yang susah payah.Ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa mereka sukses.Punya mobil mahal,punya rumah mahal dan punya deposito milyaran rupiah.

“Apa yang harus Anda lakukan jika kelak Anda sudah tua dan mendekati ajal?” tanya saya pada jam istirahat kantor.
“Gampang.Saya akan shalat Taubat.Masak iya Tuhan tidak mau mengampuni saya?”

Saya cuma geleng-geleng kepala saja. Sekarang saya yakin seyakin-yakinnya bahwa korupsi bisa terjadi bukan saja karena ada kesempatan, mental bobrok, tetapi juga karena cara berpikir yang keliru. Cara berpikir yang pendek. Hanya memikirkan kenikmatan duniawi.

Mereka punya pandangan hidup yang terlalu sederhana.Seolah-olah dengan shalat , naik haji,dan bertaubat, maka semua dosa dianggapnya akan terhapus.Dengan demikian korupsi dianggap sebagai suatu hal yang biasa saja.

Mereka secara sadar atau tidak sadar menganggap seolah-olah Tuhan tidak melihatnya. Tidak akan memarahinya.Toh, apa sih salahnya melakukan mark up? Toh biasa mencari keuntungan.Sah-sah saja,kok.

“Anggap saja,Tuhan sudah mati!” kata salah seorang teman saya di BUMN itu.
“Astaga!,” saya cuma bisa mengelus dada.

Sumber gambar:vilaputih.files.wordpress.com

Hariyanto Imadha
Penulis cerpen
Sejak 1973